Pojokjakarta.com – Akhir-akhir ini, berita tentang mudik dilarang namun wisata dibuka sempat menjadi pembahasan yang serius. Pasalnya, topik ini sangatlah rumit untuk dibahas. Akan sangat berkebalikan jika mudik dilarang, namun wisata malah dibuka.
Banyak orang yang berpendapat, dua hal tersebut memiliki potensi untuk menekan angka penularan Covid-19. Apalagi di sektor wisata, seseorang tentu akan sangat berinteraksi dengan orang lain. Sehingga pelanggaran protokol kesehatan sangatlah mungkin terjadi.
Boleh dikatakan, hal tersebut tidaklah beda jauh dari proses mudik. Maka dari itu, orang-orang banyak mempertanyakan. Ketika mudik dilarang namun wisata dibuka, ada satu titik yang tidak relate. Nah, hal itu ternyata sudah dijelaskan oleh kemenhub.
Pariwisata dalam Konteks dalam Kota
Pembukaan wisata ini dijelaskan oleh Juru bicara kementerian perhubungan jika pembolehan wisata tersebut hanya berlaku di dalam kota. Sehingga, orang di luar kota tidak diperkenankan untuk liburan di kota lain.
Wisata yang dilaksanakan lintas kota tetap tidak diperkenankan. Karena hitungannya sudah pada taraf seperti mudik. Sehingga tidak ada alasan membolehkan mudik dengan alasan berwisata.
Namun alasan tersebut belum benar-benar bisa diterima. Pasalnya, larangan mudik dan pembolehan berwisata ini memiliki masalah pada prokes. Bukan pada skalanya. Dua-duanya memiliki potensi besar menyebabkan pelanggaran prokes. Namun satu diperbolehkan dan satu dilarang.
Penurunan Kapasitas Pariwisata
Pengujung sebuah pariwisata tentunya juga tidak dibiarkan bebas, akan tetapi yang diperbolehkan hanya maksimal 50%. Sehingga, hal tersebut akan mengurangi tingkat persebaran Covid-19.
Hal tersebut, mungkin saja bisa dikatakan efektif. Namun belum tahu pada proses aplikasinya. Tentu saja, jika itu hanya sebuah prototipe rencana, maka kebenaran realitanya belum bisa dipastikan.
Karena itulah, banyak masyarakat yang belum terima akan keputusan pemerintah tersebut. Jika mudik dilarang karena bisa menularkan Covid-19, maka potensi di daerah wisata tentu saja bisa dikatakan lebih besar. Maka dari itu, hal tersebut harus dikaji kembali.
Banyak orang yang menganggap keputusan pemerintah tersebut sangat tidak bisa dimaklumi. Karena keduanya tetap akan menimbulkan sebuah kerumunan. Apalagi jika wisata yang dibuka, meskipun dibatasi maksimal 50% yang bisa masuk.
Banyak masyarakat yang merasa dibodohi dengan kebijakan yang satu ini. Mereka menganggap, konteks dari dua hal tersebut sama saja. Maka tidak bisa dibedakan kebijakannya. Jika satu dilarang, maka lainnya juga harus dilarang.
Namun masyarakat tentu cenderung ingin peraturan tersebut dihilangkan. Sehingga mudik diperbolehkan. Karena wisata dibolehkan buka, maka mudik juga mau tidak mau harus diperbolehkan pula. Seperti itulah pola pikir kebanyakan masyarakat Indonesia.
Tetap Menerapkan Protokol Kesehatan di Tempat Wisata
Sandiaga Uno selaku menteri pariwisata dan ekonomi kreatif, menjelaskan jika pembukaan wisata ini akan tetap menerapkan protokol kesehatan. Ia juga mendorong vaksinasi Covid-19 untuk pekerja yang berhubungan dengan pariwisata dan ekonomi kreatif.
Sehingga, ketika pembukaan tempat wisata tersebut bisa tetap aman dan tidak menyambung rantai penularan Covid-19. Hal semacam itu tentu saja sudah dipikirkan jauh-jauh hari oleh pemerintah. Sehingga pelaksanaannya bisa aman dan tetap lancar.
Sandiaga Uno berpendapat, jika mudik dilarang dan wisata dibuka, maka akan banyak orang yang memilih berwisata. Sehingga perekonomian di sektor pariwisata bisa saja meningkat. Rencana semacam itu tentu saja patut diapresiasi, namun masyarakat tentu kurang terima.
Kembali lagi pada basis masalahnya. Dimana mudik dan pariwisata ini memiliki probabilitas penularan Covid-19 yang hampir sama. Sehingga sangat aneh jika mudik dilarang, namun wisata diperbolehkan bahkan didorong.
Aturan Mudik Tetap Tegas
Pemerintah tetap menegaskan jika mudik dilarang dari tanggal 6 hingga 17 Mei 2021. Sehingga ketika ada masyarakat yang nekat mudik pada rentang tanggal tersebut, pihak yang bertugas tidak akan segan untuk bertindak tegas.
Pemerintah melarang total operasi moda transportasi darat, laut, udara, dan bahkan kereta ketika tanggal tersebut. Sehingga, lalu lintas benar-benar tidak ada mobilitas antar kota. Ketegasan aturan tersebut, membuat masyarakat semakin geram dan bingung.
Menurut beberapa masyarakat, permasalahannya tidak bisa dipisahkan. Keputusan pemerintah pada dua kementerian tersebut berbeda. Seolah-olah ada kesenjangan yang terjadi. Maka dari itu, banyak masyarakat yang tidak terima.
Masyarakat Banyak yang Nekat Mudik
Di beberapa postingan media sosial, masyarakat akan tetap nekat mudik jika pada rentang tanggal 6-17 Mei dilarang. Mereka beralasan, karena hal tersebut hampir sama dengan pembukaan wisata.
Namun pemerintah sudah memberikan keputusan dalam hal kelonggaran. Sehingga, masyarakat tetap diperbolehkan mudik, asalnya sebelum dan sesudah tanggal tersebut. Maka dari itu, bagi Anda yang ingin mudik, segera lakukan sebelum tanggal 6 Mei.
Dari kacamata orang awam, aturan tersebut menimbulkan pro dan kontra. Banyak masyarakat yang mempermasalahkan dan lebih banyak yang acuh dengan aturan tersebut. Mereka akan tetap fokus pada kegiatan masing-masing.
Jika mereka memiliki kebutuhan yang mengharuskan untuk mudik, mereka akan tetap mudik. Karena melihat Menko PMK yang tetap berkoordinasi dengan Menteri Pariwisata dan ekonomi kreatif terkait pembukaan wisata pada tanggal tersebut.
Dari hal tersebut, pemerintah tentu tertuntut untuk mengkaji ulang masalah tersebut. Efektifitas memang sangat perlu, namun hukum menurut orang awam itu harus disetarakan pada konteksnya.
Maka dari itu, jika mudik dilarang namun wisata dibuka, ada hal yang sulit dimengerti. Pemerintah dalam hal ini tentu harus mempertegas alasan sehingga masyarakat bisa menerima dan tidak kekeh untuk tetap mudik sehingga penyebaran Covid-19 tidak kembali terjadi di lebaran tahun 2021 ini.