Protes Mahasiswa Balikpapan Seven Di Jakarta 15 Juni 2020
Foto Oleh : Dasril Roszandi, source : theguardian
Pojokjakarta.com (21 Juni 2020), Pengadilan Indonesia pada hari Rabu mengeluarkan vonis bersalah terhadap tiga terdakwa Papua Barat pertama yang dituduh melakukan pengkhianatan, dalam kasus yang telah menarik perhatian tentang memburuknya kebebasan politik dalam demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Buchtar Tabuni, salah satu aktivis terkemuka Papua Barat dan bagian dari “Balikpapan Seven”, dijatuhi hukuman 11 bulan penjara. Buchtar Tabuni dinyatakan bersalah atas pengkhianatan dan dijatuhi hukuman 11 bulan penjara. Jauh lebih rendah dari 17 tahun yang diminta jaksa penuntut.
Setelah hukumannya, Tabuni, yang sebelumnya dipenjara selama tiga tahun dari 2008 hingga 2011. Dirinya mengatakan kepada pengadilan, “dalam hati nurani saya, saya tidak bersalah.”
Ferry Gombo dan Irwanus Uropmabin, keduanya mahasiswa, juga dinyatakan bersalah atas tuduhan yang sama dan dijatuhi hukuman 10 bulan penjara. Jaksa sebelumnya menuntut 10 tahun untuk Gombo, presiden serikat mahasiswa di Universitas Cenderawasih di Papua Barat. Dan, lima tahun untuk Uropmabin, seorang aktivis mahasiswa di sebuah universitas di Jayapura.
Terdakwa lain menerima hukuman antara 10 hingga 11 bulan penjara, setelah diyakinkan akan tuduhan yang sama. Ketujuh orang itu didakwa setelah mereka bergabung dalam protes anti-rasisme yang melanda provinsi paling timur Indonesia Agustus lalu.
Protes Balikpapan Seven
Dalam sebuah pernyataan yang diposting di media sosial, pengacara hak asasi manusia Indonesia Veronica Koman mengatakan, “terlepas dari keringanan hukuman, vonis masih mencerminkan rasisme di bawah sistem peradilan Indonesia.”
“Apa pun yang terjadi, orang Papua * harus * dinyatakan bersalah oleh pengadilan Indonesia, terutama dalam kasus pengkhianatan dan penghasutan,” kata Koman, yang tinggal di pengasingan.
Putusan dan vonis dijatuhkan oleh hakim secara online melalui aplikasi video, Zoom.
Demonstrasi di Papua dan Papua Barat dipicu oleh dugaan serangan rasis. Serangan rasis tersebut ditujukan kepada beberapa siswa Papua di pulau Jawa, termasuk yang disebut “monyet”.
Mereka terdakwa ditangkap di ibukota provinsi Papua Barat, Jayapura tahun lalu. Para terdakwa dipindahkan ke Balikpapan di Kalimantan Indonesia untuk alasan keamanan.
Banyak orang Indonesia mengkritik Jaksa Agung negara itu karena menuntut para terdakwa, yang juga dikenal sebagai “Balikpapan Seven”.
Lebih dari 150 politisi Papua, pemimpin sipil dan agama, termasuk anggota parlemen dan senat, telah menandatangani petisi meminta Presiden Joko Widodo untuk membatalkan tuduhan terhadap mereka.
Human Rights Watch (HRW) juga mendesak pemerintah untuk membebaskan para tersangka.
Dilansir dari Al Jazeera (15 Juni 2020), Andreas Harsono, perwakilan kelompok itu di Indonesia, mengatakan bahwa ia “takut” hakim akan menghukum para terdakwa dan menghukum mereka ke penjara.
“Mungkin tidak ekstrim seperti yang dituntut jaksa, tetapi masih ada hukuman penjara, karena itu sangat umum. Artikel pengkhianatan itu telah digunakan terhadap orang Papua selama lebih dari lima dekade di Indonesia.”
Papuan Lives Matter
Provinsi Papua dan Papua Barat yang kaya sumber daya berada di bawah pemerintahan Indonesia setelah referendum 1969 yang disetujui oleh PBB. Proses tersebut dipandang dicurangi oleh banyak orang asli Papua.
Pemberontakan separatis tingkat rendah telah membara sejak di bekas jajahan Belanda yang berbagi pulau Papua dengan negara merdeka Papua Nugini.
Mayoritas orang Papua adalah Kristen dan etnis Melanesia dengan sedikit ikatan budaya dengan seluruh Indonesia yang mayoritas Muslim.
Ketegangan merebak pada Agustus 2019, dengan beberapa daerah di Papua Barat meletus menjadi protes berapi. Protes yang menyebabkan beberapa orang tewas, mendorong pemerintah Presiden Joko Widodo untuk mengerahkan ribuan pasukan militer ke daerah itu. Jumlah korban tewas terakhir dalam kerusuhan selama berbulan-bulan tetap tidak diketahui.
Pada puncak protes, ribuan warga terpaksa mengungsi dari wilayah itu, yang termiskin di kepulauan itu.
Selama protes, banyak demonstran terlihat mengibarkan bendera Bintang Kejora, simbol kemerdekaan Papua, yang dilarang di Indonesia.
Tokoh kemerdekaan Filep Karma dihukum karena pengkhianatan setelah mengibarkan bendera di depan umum. Filep Karma menghabiskan 11 tahun penjara sebelum pembebasannya pada tahun 2015.
Pengadilan Balikpapan telah menarik tingkat dukungan yang tidak biasa di Indonesia. Tingkat dukungan bertepatan dengan gerakan Black Lives Matter di Amerika Serikat.
Black Lives Matter di Amerika Serikat menginspirasi “Papua Lives Matter”. “Papua Lives Matter” digunakan orang Indonesia di media sosial dan demonstrasi jalanan yang menyerukan pembebasan orang Papua.
Referensi :
- The Guardian
- Aljazeera News