
Kasus kematian seorang siswi SMP bernama Ayu Andriani yang ditemukan tewas di kawasan Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kuburan Cina, Palembang, menggemparkan publik. Namun, di balik kasus tragis ini, muncul dugaan kuat adanya rekayasa dari aparat kepolisian Polrestabes Palembang. Fakta-fakta terbaru yang terungkap di persidangan semakin memperkuat kecurigaan bahwa kasus ini sarat dengan kejanggalan, intimidasi, dan manipulasi hukum.
Kronologi Penculikan dan Intimidasi
Berdasarkan keterangan keluarga korban, pada 3 September 2024, tim buser Polrestabes Palembang berpakaian preman diduga menculik empat anak. Satu anak diambil dari sekolah ketika sedang belajar, sementara tiga lainnya ditangkap saat bermain. Anak-anak tersebut kemudian dibawa ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan dipaksa memperagakan adegan pembunuhan.
Tidak berhenti di situ, mereka juga mengalami kekerasan fisik dan mental agar mengakui skenario yang telah disusun oleh penyidik. Setelah itu, para anak dibawa ke sebuah pos penjagaan di Jalan Letkol Iskandar, samping Hotel Ibis Palembang. Di lokasi tersebut, intimidasi kembali dilakukan sebelum akhirnya mereka diserahkan ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Palembang. Ironisnya, proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dilakukan tanpa pendampingan orang tua.
Pencarian Orang Tua dan Pemaksaan Tanda Tangan
Pada hari yang sama, orang tua keempat anak mencari keberadaan mereka. Setelah bertanya ke sejumlah warga dan mendengar kabar dari pihak sekolah, barulah diketahui bahwa anak-anak ditahan polisi. Setibanya di Polrestabes Palembang, orang tua dipaksa menandatangani berkas BAP yang sudah disiapkan oleh penyidik, sebuah praktik yang jelas menyalahi prosedur hukum.
Upaya Hukum yang Tertunda
Beberapa hari kemudian, tepatnya 5 September 2024, pihak keluarga akhirnya bertemu dengan seorang pengacara sekaligus aktivis yang bersedia mendampingi mereka. Sayangnya, saat itu kasus telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Palembang. Pihak kejaksaan sempat melarang pertemuan antara kuasa hukum, keluarga, dan anak-anak tersebut.
Namun, melalui aksi demonstrasi di depan Kejari Palembang, pengacara tersebut akhirnya berhasil memperoleh akses dan ditetapkan secara resmi sebagai kuasa hukum empat anak tersebut.
Fakta Terungkap di Persidangan
Kasus ini semakin mengundang perhatian ketika persidangan mulai digelar. Sejumlah saksi yang awalnya memberikan keterangan memberatkan, akhirnya mencabut kesaksiannya. Mereka mengaku bahwa keterangan sebelumnya diberikan karena adanya intimidasi dan tekanan dari aparat kepolisian.
Lebih lanjut, tidak ditemukan bukti kuat seperti sidik jari atau DNA yang menghubungkan keempat anak dengan korban. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa mereka tetap dijadikan tersangka dan bahkan divonis bersalah?
Dugaan Suap dan Manipulasi Sidang
Laporan dari tim kuasa hukum menyebutkan adanya dugaan praktik suap kepada hakim agar tetap memvonis bersalah. Kejanggalan lainnya adalah fakta bahwa hampir seluruh persidangan berlangsung tertutup, hanya vonis akhir yang diumumkan secara terbuka untuk publik. Hal ini dinilai sebagai upaya membentuk opini seolah-olah keempat anak memang bersalah.
Laporan ke Komisi Yudisial
Merespons kejanggalan tersebut, kuasa hukum resmi melaporkan hakim ke Komisi Yudisial Palembang. Mereka menegaskan akan terus memperjuangkan keadilan hingga kebenaran terungkap. Menariknya, pengacara yang menangani kasus ini memilih bekerja tanpa menerima bayaran dari keluarga, sebuah langkah yang menunjukkan dedikasi tinggi terhadap penegakan hukum dan perlindungan anak.
Reaksi Publik dan Tuntutan Keadilan
Kasus ini memicu gelombang reaksi dari masyarakat, aktivis HAM, hingga akademisi. Banyak yang menilai bahwa praktik manipulasi hukum seperti ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Apalagi, kasus melibatkan anak-anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan khusus dari negara.
Masyarakat menuntut agar pihak-pihak yang diduga merekayasa kasus segera diusut tuntas. Selain itu, mereka juga meminta agar nama baik dan kondisi psikologis anak-anak yang menjadi korban segera dipulihkan.
Kesimpulan
Kasus kematian Ayu Andriani yang diduga direkayasa oleh Polrestabes Palembang bukan hanya sekadar tragedi hukum, melainkan cerminan serius lemahnya integritas penegakan hukum di Indonesia. Fakta-fakta yang terungkap di persidangan jelas menunjukkan adanya rekayasa, intimidasi, dan pelanggaran prosedur.
Langkah hukum melalui Komisi Yudisial menjadi pintu harapan untuk membongkar kebenaran dan memberikan keadilan, baik bagi korban maupun keluarga. Kasus ini diharapkan menjadi momentum bagi reformasi kepolisian dan sistem peradilan agar praktik serupa tidak terulang di masa depan.