
Pojokjakarta.com – Beberapa hari ini, geger pembahasan mengenai pertanyaan di TWK anggota KPK yang mempertanyakan Al-Quran atau Pancasila. Pertanyaan ini, menurut sebagian pihak, dirasa sangat mendiskreditkan seseorang dari golongan tertentu. Sehingga, bisa jadi pertanyaan jebakan pada Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) anggota KPK.
Publik menilai dengan sangat jeli, jika pertanyaan ini adalah pertanyaan jebakan. Anggota KPK yang mengikuti TWK bisa jadi akan dijebak jika ada pertanyaan tersebut. Apalagi menurut beberapa orang yang mengikuti tes tersebut, banyak pertanyaan-pertanyaan yang pada dasarnya tidak relate dengan tugas KPK.
BKN Menjawab Permasalahan
Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang dalam hal ini menjadi lembaga penguji, memaparkan jika pertanyaan tersebut penting disampaikan. Karena bisa dilihat nantinya jika ada anggota KPK yang memiliki indikasi keanggotaan dengan aliran tertentu.
Menurut Kepala BKN Bima Haria, pertanyaan tersebut dikategorikan dengan pertanyaan berat. Karena sudah menyangkut nasionalisme dan bagaimana calon anggota KPK nantinya harus bekerja.
Bima memiliki pendapat jika seseorang memiliki pemahaman agama atau pancasila yang terbatas, maka ia akan dengan cepat menjawab agama. Hal ini diajukan untuk melihat dimana titik kebingungan yang dialami oleh seseorang.
Menurut Kepala BPK, inti dari pertanyaan tersebut bukanlah jawabannya. Akan tetapi bagaimana respon seseorang ketika diberikan pertanyaan semacam itu. Hal tersebut mungkin saja dirasa sangat penting bagi BPK.
Film “The Endgame” yang Kontroversi
Itu pemilihan Al-Quran atau Pancasila tersebut kembali mencuat setelah film dokumenter dari Watchdoc viral di jagat Indonesia. Konten-konten yang dibuat Watchdoc memang seringkali mengundang kontroversi.
Salah satunya adalah film The Endgame ini yang menceritakan tentang kasus Korupsi di Indonesia. Ditayangkan pendapat dari Novel Baswedan dan kawan-kawan yang menceritakan bagaimana nasionalisme mereka memberantas korupsi di negeri ini.
Film ini boleh dikatakan sangat membuka mata kepala masyarakat Indonesia jika melawan korupsi itu berat. Bahkan Novel Baswedan harus menerima segala ancaman hingga percobaan pembunuhan berkali-kali.
Salah satu sorotan yang dibahas dalam film dokumenter itu adalah pertanyaan TWK yang berkaitan memilih Al-Quran atau Pancasila. Sebuah pertanyaan yang sangat mengundang emosi sebagaian pihak.
Bukan karena pertanyaan tersebut sulit dijawab, namun pertanyaan tersebut tidak memiliki esensi untuk dilontarkan (apalagi bagi anggota KPK). Dimana tugas mereka melawan korupsi dan memberantasnya.
Tidak ada Relevansi dengan KPK
Tugas KPK secara jelas memang memberantas korupsi dari akarnya, hal tersebut sudah diatur dalam undang-undangnya. Namun ketika pembaharuan undang-undang terkait KPK, harus ada ujian TWK lagi untuk menguji kelayakan anggota.
Padahal, anggota tersebut sudah bekerja menggagalkan kasus korupsi berulang kali. Secara otomatis, hal tersebut mengindikasikan jika mereka benar-benar memiliki nasionalisme yang kuat.
Sedangkan, pertanyaan Al-Quran atau Pancasila menurut hemat banyak orang tidak relate sama sekali dilontarkan pada anggota KPK yang sudah berulang kali menggagalkan kasus korupsi di Indonesia.
Indikasi ‘Menyingkirkan’ Beberapa Anggota Tertentu
Ada banyak orang yang benar-benar militan di KPK. Mereka berusaha mati-matian, menghabiskan waktu dan tenaga untuk memberantas korupsi. Hingga ketika mereka di lobi, tetap tidak idealis dan meneguhkan prinsip.
Orang-orang semacam itu di KPK tampaknya harus sedikit disingkirkan. Karena diperkirakan akan merusak pola skema korupsi yang dibuat oleh para pelaku. Namun hal baiknya, masih banyak orang di KPK yang rela mati untuk memberantas kasus korupsi.
Pertanyaan Al-Quran atau Pancasila memiliki indikasi kuat sebagai alasan beberapa orang tidak lulus TWK. Karena mungkin dilihat lebih condong pada aliran islam garis keras. Apalagi di dalam internal KPK ada beberapa orang berjenggot dan bercelana cingkrang.
Meskipun demikian, berbagai insiden penangkapan korupsi di Indonesia harusnya sudah membuktikan jika mereka yang bekerja di KPK itu sudah benar-benar memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi.
Keyakinan Pribadi dan Nasionalisme itu Berbeda
Beberapa anggota mengatakan jika bagaimana mereka berpenampilan, berbusana, dan bertindak laku, sama sekali tidak mencerminkan sebagai seorang pengkhianat bangsa. Karena keyakinan semacam itu merupakan sebuah ideologi pribadi.
Maka sangat aneh jika hal tersebut diindikasikan sebagai orang yang mengikuti aliran keras. Apalagi sekelas Novel Baswedan yang benar-benar sangat militan dalam memberantas kasus korupsi di Indonesia ini.
Nasionalisme Novel Baswedan tentu saja tidak bisa dianggap remeh. Ia benar-benar sudah berjuang hingga diujung tanduk untuk menggagalkan beberapa kasus korupsi di Indonesia. Namun karena hal administratif dadakan, ia bisa dengan mudah hengkang dari KPK.
Dari kejadian tersebut sudah sangat jelas indikasinya jika ada pihak tertentu yang ingin sekali melemahkan KPK. Entah dari sisi Undang-undang maupun anggota yang ‘diindikasikan berbahaya’ bagi pelaku tindak korupsi.
Apakah TWK KPK Berguna?
Pertanyaan ini tentu sangatlah sulit untuk dijawab. Bagi pejabat di beberapa bidang lain, mungkin saja TWK ini berguna. Tentunya dengan pertanyaan yang benar-benar relevan. Apalagi untuk lembaga sekelas KPK.
Menurut analisis di beberapa pihak, termasuk pihak eks. anggota KPK, TWK rasanya kurang diperlukan. Karena tes tersebut ada setelah KPK sudah bisa menjalankan tugas mengentaskan beberapa tindak pidana korupsi.
Beberapa anggota KPK yang tidak lulus TWK akhirnya melapor pada bidang HAM terkait masalah tersebut. Apalagi pelaksanaan wawancara dilakukan tidak sesuai dengan standar yang tepat (yang memiliki indikasi jebakan bagi anggota KPK).
Intinya, pertanyaan Al-Quran atau Pancasila merupakan sebuah pertanyaan yang sangat personal dan tidak layak diungkapkan. Jangankan untuk dijawab, secara dasar filosofi bangsa, pertanyaan tersebut sangat berbahaya untuk diucapkan. Karena memiliki tafsir yang nantinya bisa menciptakan multirepresentasi.