
Pojokjakarta.com – Baru-baru ini, dikabarkan seorang mahasiswa di Unsri melaporkan polisi atas kasus pelecehan seksual yang dialaminya saat bimbingan skripsi. Ini adalah salah satu rantai kejahatan seksual kampus yang hingga saat ini belum selesai. Dimana, pihak-pihak akademis menyelewengkan kekuasaan untuk nafsu mereka sendiri.
Tentu saja, hal ini akan selalu menjadi polemik. Bahkan sebelumnya, kasus semacam ini sulit sekali dibawa ke meja hukum. Sebab menyangkut moral dan nama baik korban. Apalagi, masih ada resiko kalah ketika disidangkan ke pengadilan. Ketakutan inilah yang menjadi dilema kasus kejahatan seksual kampus.
Sulit Dideteksi dan Dibawah Ke Pengadilan
Menurut Nadiem Makarim, lebih dari 70% pelaku pendidikan kampus yang disurvei pernah menjumpai kasus pelecehan seksual saat mereka menjalankan tugas. Hal ini tentu bukan persentase yang kecil. Apalagi untuk sebuah kejahatan amoral yang terjadi di lingkungan kaum berpendidikan.
Namun, dalam realitasnya penegakan kasus semacam ini sangat sulit dilakukan. Selain karena masalah seksual adalah masalah yang sangat privasi, korban rata-rata memilih diam daripada mengambil resiko untuk membawanya ke meja hukum.
Tentu saja, banyak pertimbangan yang dipikirkan oleh korban. Mulai dari efektivitas pengadilan dalam memberikan jatuhan hukuman, sanksi moral sosial, dan masih banyak lagi. Terlebih, bagi mahasiswa yang belum lulus, hal tersebut bisa menjadi penghalan bagi mereka untuk lulus.
Sehingga, kasus semacam ini tidak akan mudah untuk dibasmi. Rantai kejahatan seksual kampus akan terus terjadi, selagi ada oknum-oknum yang tidak memiliki moralitas sebagai tenaga pendidik yang profesional.
Maka dari itu, perlu adanya kepercayaan sosial yang menciptakan iklim masyarakat yang protektif terhadap korban. Bagaimanapun, korban kejahatan seksual tidak akan berat secara pikiran, namun juga secara mental karena telah direndahkan oleh orang lain.
Apakah Peraturan Cukup untuk Memberantas?
Baru-baru ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menerbitkan sebuah aturan baru. Keluar dari pro dan kontranya, aturan ini awalnya dibuat untuk mencegah dan memberantas berbagai kasus kejahatan seksual di kampus. Sehingga, ada hukum yang menaungi kejahatan tersebut.
Namun, undang-undang saja tentu tidak cukup. Sebab, hal ini perlu ditekankan dari kebijakan kampus itu sendiri. Semakin protektif sebuah kampus, maka semakin efektif pula pencegahan mereka terhadap kejahatan seksual.
Berbagai kebijakan perlu dipertimbangkan untuk menyelesaikan masalah ini. Keikutsertaan berbagai pihak tentu dibutuhkan. Jangan sampai, kasus yang dialami mahasiswa di Unsri juga dialami oleh mahasiswi lainnya.
Meskipun dunia kampus terlihat suci dengan iklim kependidikannya, ternyata masih banyak oknum yang memanfaatkan posisi dan situasi untuk memuaskan hasratnya. Jangan sampai hal ini terus dibiarkan, kita harus sama-sama melawan. Tidak semua civitas akademika kampus bermoral layaknya semboyannya. Masih banyak oknum amoral yang belum ketahuan hingga saat ini.