Gangguan kesehatan mental perinatal dapat terjadi pada perempuan hamil dan ibu setelah melahirkan. Tentunya yang tidak mengenal dari segi etnis, usia, dan latar belakang sosial ekonominya. Definisi perinatal menurut WHO, sebagai periode yang dimulai dari pembuahan sampai setahun pasca persalinan.
Gangguan mental perinatal juga bisa dialami oleh perempuan sebelum kehamilan. Gangguan tersebut mencakup seperti baby blues dan gangguan kecemasan. Selain itu, juga psikotik pasca persalinan dan depresi pasca persalinan.
Kenali Gangguan Kesehatan Mental Perinatal
Gangguan baby blues apabila tidak ditangani dengan baik akan berkembang menjadi postpartum depression. Hal itu biasa terjadi pada fase dua minggu setelah melahirkan. Apabila tingkat depresi pasca persalinan sudah lebih tinggi, maka akan mengalami keluhannya lebih berat dan gangguan fungsinya juga lebih berat.
Gangguan kesehatan mental ini juga bisa lebih buruk. Hal itu apabila saat depresinya muncul gejala psikotik. Seperti halnya ibu mendengar suara atau pikiran negatif. Biasanya terjadi saat depresinya semakin memburuk.
Sehingga membuatnya semakin irasional dan melakukan segala hal yang tidak mungkin. Hal terburuknya seperti menyakiti diri sendiri, menyakiti anak, dan bisa melakukan bunuh diri.
Gangguan kesehatan mental perinatal adalah suatu kejadian yang sering terlambat disadari dan ditangani. Sehingga proses perbaikan dan pengobatannya tidak berjalan dengan baik.
Pengaruh stigma yang munculnya dari diri sendiri dan sosial terhadap pengobatan psikiatri. Hal itu membuat pasien tidak melakukan pengobatan. Sering kali merasa malu untuk meminta pertolongan. Pada proses pengobatan perlu adanya dukungan, terutama oleh pasangannya. Perlunya kerjasama pasangan dan keluarganya.
Untuk bisa mengenali tanda-tanda perburukan dan tanda-tanda bahaya. Selain itu, juga mendengarkan kondisi pasien, menemani, dan mendampinginya. Sebaiknya juga membantu tugas rumah tangga supaya ibu tidak menjadi stres.
Tingkat Depresi Berdasarkan Data dari Berbagai Penelitian
Kesehatan mental ibu hamil dan setelah melahirkan juga menjadi perhatian dunia. Sejumlah penelitian dalam penanganan terhadap gangguan kesehatan mental perinatal. Hal itu perlu untuk dilakukan sejak awal.
Dari data WHO, 10% wanita hamil dan 13% wanita yang baru melahirkan. Mengalami gangguan kesehatan mental, terutama depresi. Sedangkan depresi pasca persalinan, prevalensi secara global sekitar 100-150 dari 1000 kelahiran.
Data terbaru di Amerika yang dirilis Mei 2020, angka kasus gangguan depresi perinatal cukup tinggi. Dari setiap 7 sampai 10 perempuan hamil ada satu yang mengalami depresi. Perempuan yang baru melahirkan dari setiap 5 sampai 8, ada satu yang juga mengalami depresi.
Berdasarkan penelitian yang dirilis Maternal Mental Health Alliance pada 2014. Mengungkapkan antara 10% dan 20% wanita di seluruh negeri mengalami penyakit mental perinatal. Terungkap pada wanita yang mengalami penyakit mental perinatal. Terdapat 31% yang memiliki masalah kesehatan mental pada sebelumnya.
Mengenai psikotik pasca persalinan, menurut NHS Inggris gangguan kesehatan mental tersebut cukup serius. Tentunya yang dapat menyerang seseorang setelah melahirkan. Kondisi tersebut dapat memengaruhi 1 dari 500 ibu yang baru melahirkan.
Namun nihil mengenai data kasusnya gangguan kesehatan mental perinatal di Indonesia. Menunjukkan program kesadaran mengevaluasi gangguan kejiwaan perlu untuk ditingkatkan. Data prevalensinya sangat penting untuk menentukan kebijakan dan program secara tepat.
Dalam rangka promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Sehingga bisa melindungi wanita, anak, dan keluarganya. Tentunya terhindar dari risiko mengalami gangguan mental tersebut.
Deteksi Dini Gangguan Kesehatan Mental
Perlunya mendeteksi sejak awal gangguan kesehatan mental perinatal. Hal itu sangat berpengaruh pada kesembuhan dan mencegah kondisi menjadi lebih parah. Dokter spesialis kandungan atau bidan bisa membantu dalam penapisan sejak awal. Tentunya sebagai salah satu upaya untuk pencegahan.
Untuk pencegahannya bisa dilakukan sejak melakukan kontrol sebelum menjelang lahiran. Menanyakan kesiapan dalam mengurus bayinya. Perlunya bantuan babysitter atau keluarga yang akan mendukung mengurus anak tersebut. Kehadiran suami yang siap memberikan dukungan dan edukasi untuk istrinya.
Sehingga diharapkan bisa meminimalisir terjadinya baby blues. Ibu hamil juga perlu menyadari akan kondisi kesehatan mentalnya sejak awal. Seorang ibu hamil bisa memulai dengan menganalisa pikirannya. Mengenai banyaknya pikiran negatif yang muncul saat akan membesarkan anak.
Secara emosional, dapat dikatakan stabil, sering menangis, atau lebih sering marah-marah. Hal itu apabila dibandingkan dengan sebelumnya. Selain itu, juga pada sistem pendukung keluarganya terlalu banyak dalam menuntut.
Saat ibu hamil tidak menyadari atas gangguan kesehatan mental perinatal pada dirinya. Penting bagi suami atau anggota keluarga lainnya untuk membantunya. Dengan mendeteksi pada saat melihat perubahan emosi dari ibu.
Pada saat bercerita kepada pasangan, mengenai kondisi yang tidak baik. Namun orang lebih cenderung menganggap hal itu berlebihan apabila seorang ibu sudah tidak melakukan hal dengan baik.
Seperti halnya tidak lagi merawat diri atau hubungannya memburuk dengan orang lain. Kemungkinan karena emosi yang sedang tidak stabil. Hal itu bisa diartikan sudah perlu mencari pertolongan.
Mitos Seputar Gangguan Mental Perinatal
Selain adanya stigma yang berkembang di masyarakat, banyak juga mitos seputar gangguan mental perinatal. Hal itu yang menghambat penanganan dan penyembuhan ibu dengan masalah kejiwaannya tersebut.
Mitos yang sudah beredar di masyarakat seperti penyakit tersebut bisa sembuh sendiri. Gangguan baby blues kemungkinan bisa sembuh sendiri dalam waktu kurang dari dua minggu. Namun apabila sudah lebih dari dua minggu, ibu segera meminta pertolongan.
Hal itu karena gangguan kesehatan mental perinatal sudah masuk pada fase depresi. Apabila sudah masuk fase depresi, tentu akan memperburuk kondisinya. Sehingga bukan hanya sembuh secara sendiri.
Mitos lainnya suami hanya perlu mencukupi secara ekonomi. Namun tidak membantu tugas-tugas wanitanya. Dengan anggapan hal itu bukan tanggung jawab laki-laki atau suami.
Padahal peran suami sangat penting dalam membantu mengurus anak. Terutama pada fase awal kehidupannya itu, yang akan sangat meringankan tugas ibu.
Ada juga mitos mengenai nasihat-nasihat. Sehingga saat ibu sudah belajar suatu hal yang baik. Namun dikonfrontasi atau ditentang dengan nasihat masa lalunya. Tentu pada akhirnya menimbulkan terjadinya konflik.
Adanya gangguan kesehatan mental perinatal yang seringkali tidak menyadarinya. Apabila muncul gejala yang tidak segera dilakukan penanganan, maka kondisi tersebut bisa semakin buruk. Hal terburuknya seperti menyakiti diri sendiri, menyakiti anak, dan bisa melakukan bunuh diri.