Serikat buruh menolak dengan keras turunan UU Cipta Kerja. Penolakan ini ditujukkan pada empat PP turunan mulai dari PP 34 hingga 37. Dokumen gugatan juga sudah diserahkan ke Mahkamah Konstitusi.
Presiden KPSI, Said Iqbal mengatakan pihaknya beserta semua serikat buruh meminta agar pemberlakuan UU tersebut ditunda. Ia meminta ke presiden Jokowi agar menunda implementasi UU tersebut setidaknya hingga pandemi corona ini tuntas.
Berencana Menggugat ke MK
Lebih lanjut ia meminta untuk mencari solusi bersama atau menunggu hingga keputusan MK keluar, karena saat ini tengah dalam tahap uji coba. Dirinya juga meminta kepada DPR agar memanggil menteri-menteri yang berkaitan dengan UU ciptaker ini. seperti Menaker, Ida Fauziyah dan Menko Bidang perekonomian.
Said menanyakan mengapa empat PP tersebut bisa keluar, yang bahkan kualitasnya dan dampaknya lebih buruk dari Omnibus Law yang mereka susun sendiri. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa KPSI tidak hanya tinggal melihat ini semua.
Tidak hanya sebagai penonton. Jika memang empat PP yang disebutkan diatas tidak berhasil dan pemerintah ogah untuk sekedar menunda, pihaknya akan menggugat ke Mahkamah Agung. Tetapi, saat ini belum dimungkinkan karena Uji materi 4 PP tersebut belum selesai.
Berencana Gelar Unjuk Rasa Kembali
Sehubungan dengan penolakan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KPSI) terhadap turunan UU cipta kerja, pihaknya berencana untuk menggelar demo. Unjuk rasa akan kembali dilakukan dengan damai dalam waktu dekat untuk menolak regulasi UU tersebut.
Seluruh serikat buruh menolak PP No 34 hingga 37. No 34 berisi penggunaan tenaga kerja asing. Sementara no 35 memuat perjanjian kerja berwaktu, hingga waktu istirahat. Nomor 36 memuat pengupahan dan nomor 37 tentang JKP.
Pihak KPSI memastikan demo akan dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Mereka menolak PP no 36 yang memuat pengupahan karena alasannya perhitungan upah tidak sesuai dengan kondisi lapangan.
Pemerintah dalam hal ini juga menggunakan variabel baru seperti daya beli, penyerapan tenaga kerja, anggota rumah yang bekerja, dan median upah. Variabel baru ini dianggap membuka pilihan penggunaan satu skema saja antara inflasi atau pertumbuhan ekonomi.
Ketua KPSI menolak penggunaan variabel baru tersebut karena dianggap aneh-aneh saja. Padahal itu tidak sesuai lapangan jadi tidak layak untuk diterapkan.
Apalagi, pemerintah bakal menghapus Komponen Hidup Layak (KHL) dalam perhitungan upah. Padahal, menurut ketua KPSI itu merupakan komponen penting karena mendekati kondisi nyata dari para buruh.
Jika hanya inflasi atau pertumbuhan ekonomi saja tidak memungkinkan. Karena inflasi dalam hal ini merupakan penyesuaian harga. Jadi, tidak ada kenaikan upah buruh secara berkelanjutan.
Buruh yang sudah kerja sepuluh tahun pun upahnya sama dengan yang baru masuk. Jadi, buruh yang sudah lama mengabdi di perusahaan tidak punya nilai tambah atau value add.
4 Turunan UU Cipta Kerja Berpotensi Membuat Buruh Makin Terpuruk
Pemerintah, beberapa waktu lalu memang sudah sah menerbitkan turunan UU Cipta Kerja yang berisi 4 perpres dan 47 PP. Serikat buruh menolak 4 PP turunannya karena akan membuat buruh makin terperosok.
UU Ciptaker ini juga berpotensi menyulitkan buruh dalam segi ekonomi dan waktu kerja yang panjang. Pada PP 35 misalnya dituliskan boleh menggunakan outsourcing. Padahal itu sangat memberatkan buruh, istilahnya perbudakan modern.
Sudah upahnya minim, dan kontrak harus diulang-ulang, lewat outsourcing pula. Itu sama dengan kerja rodi. Masalah lain tak kalah genting, seperti dihapusnya Upah Minimum Kabupaten yang mengancam kesejahteraan para buruh.
Di situ disebutkan bahwa UMK mengikuti aturan UMP, UMP sendiri secara struktural memiskinkan buruh karena kembali ke upah murah. Persoalan lain yang tidak lepas dari sorotan yakni jam kerja, besaran pesangon dan juga ketentuan PKWT.