Sejumlah Industri padat karya ini diperbolehkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan untuk melakukan penyesuaian upah. Aturan upah buruh ini sudah dituangkan para peraturan Kemenaker tahun 2021 mengenai upah saat pandemi COVID-19.
Tetapi, penyesuaian ini hanya bisa dilakukan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak yakni buruh dan pengusaha. Ada kriteria tertentu yang bisa melakukan penyesuaian yakni industri dengan jumlah pekerja minimal 200 orang dengan biaya produksi palings sedikit 15 persen.
Sektornya pun dibatasi yakni pada produk tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, mainan, furnitur, dan konsumsi serta tembakau.
Bukan Pengurangan Tapi Penyesuaian Upah
Dirjen Perhubungan Perindustrian dan Jamsos, Andriani mengatakan bahwa hal itu bukanlah pengurangan, tetapi penyesuaian upah. Karena jam kerja juga tidak normal atau perusahaan berhenti produksi sementara. Pandemi memang memaksa banyak industri memangkas karyawan bahkan gulung tikar.
Tetapi dari sisi buruh, kebijakan aturan upah buruh ini pastinya merugikan. Jika terjadi penyesuaian karena jam kerja atau perusahaan yang berhenti produksi maka pemasukan mereka semakin tipis. Bahkan terancam hilang.
Menanggapi hal ini, ekonom dari UI merespon bahwa industri memang begitu terpuruk saat pandemi. Tetapi, bukan berarti dianggap benar pemerintah mengeluarkan kebijakan penyesuaian upah. Nantinya, buruh yang semakin terpuruk dan kemiskinan pun semakin tinggi.
Ibarat pedang bermata dua, di sisi lain perusahaan mati-matian hidup di tengah pandemi. Sementara buruh pun tidak ingin dipangkas upahnya. Penurunan upah ini akan berdampak pada konsumsi rumah tangga nasional yang semakin anjlok.
Akibatnya, ekonomi nasional semakin sulit untuk bangkit. Dampaknya bukan hanya pada pengurangan konsumsi tapi juga ekonomi Indonesia yang makin terjun bebas. Padahal pemerintah berusaha mati-matian untuk membangkitkan ekonomi pasca pandemi.
Menurut ekonom UI, Fitra seharusnya pemerintah memberikan insentif ke perusahaan agar bisa membantu membayar upah pekerja. Ia juga menganggap keuangan pemerintah masih cukup untuk memberikan hibah ke perusahaan perusahaan atau cari utang baru. Memang, konsekuensinya APBN dan utang semakin bengkak, tapi ekonomi pasti bangkit. Jika tidak seperti itu, ekonomi tidak akan bisa cepat bangkit.
Kabar Baiknya, PHK Bakal Berkurang
Namun, di sisi lain kebijakan aturan upah buruh ini akan mengurangi kemungkinan perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sebenarnya, bisa saja perusahaan melakukan PHK karena beban operasional tidak seimbang. Namun, lebih baik melakukan pengurangan upah jika dibandingkan pemutusan hubungan kerja.
Karena itu, kebijakan pengupahan di masa pandemi seperti ini saling menguntungkan. Baik bagi pekerja maupun perusahaan dengan catatan penyesuaian upah ini hanya bersifat sementara.
Bagi perusahaan, kebijakan ini tidak begitu berdampak signifikan, pasalnya penyesuaian upah hanya bisa membantu perusahaan untuk tetap hidup. Bukan untuk mengembalikan kinerja mereka seperti sebelum pandemi.
Pernyataan senada juga disampaikan oleh Benny Soetrisno selaku Waketum Kadin Bidang Perdagangan. Penyesuaian upah ini menyelamatkan dua pihak. Pihak perusahaan masih bisa beroperasi, dari sisi buruh pun mereka tetap bisa bekerja, tidak sampai di PHK meski upahnya berkurang.
Namun, kontra pasti datang dari buruh, Ketua Aliansi Buruh se-Indonesia , Nining mengatakan seharusnya Kemenaker meminta izin ke serikat buruh dahulu sebelum membuat kebijakan.
Dirinya juga berkata bahwa pemerintah lebih condong memihak ke pengusaha. Di sisi lain, menyengsarakan buruh karena membuat gaji mereka semakin tipis. Sebagai catatan, saat ini sudah ada sekitar tiga puluh ribu buruh yang merupakan anggota serikat yang mengalami pemotongan gaji. Gaji mereka ada yang dipotong dua puluh sampai enam puluh persen dari upah normal sebelum pandemi.